Beralih dari Pendidikan Sekuler
Kalau ditanya berapa banyak lembaga
pendidikan Islam di Jember, maka dengan spontan kita akan menjawab “BANYAK!”
Hampir di setiap kelurahan kita akan melihat sekolah Islam, bahkan tidak
sedikit yang baru didirikan. Minat orang tua terhadap pendidikan Islami,
ditangkap sebagai peluang untuk mendirikan sekolah-sekolah baru.
Hal ini sudah dapat diduga, mengingat
masyarakat sudah gelisah terhadap hasil pendidikan sekuler yang hanya
mementingkan nilai, seringkali mengesampingkan akhlak, ditambah lagi dengan tawuran,
budaya rokok, dan pergaulan bebas yang semakin marak di kalangan pelajar. Kepercayaan
orang tua semakin berkurang dan mereka mencari sekolah alternatif yang bisa
dipercaya.
Hanya saja, belum diketahui apakah minat
mendirikan sekolah berlabel Islam itu dilatarbelakangi oleh motivasi berdakwah
atau motivasi berdagang. Inilah yang nantinya membedakan proses pendidikan dan
kualitas lulusan di sekolah tersebut.
Pentingnya Mengenal Tujuan Sekolah
Jujur saja, beberapa sekolah Islam
didirikan karena melihat sekolah Islam yang lain kebanjiran siswa, sehingga kemudian
memetik ide “Saya juga bisa seperti itu.” Namun karena banyak pendiri-pendiri
sekolah tidak memiliki konsep tentang pendidikan Islami, disamping sistem
pendidikan sekuler begitu mengakar di Indonesia, harapan orang tua terhadap
kualitas karakter lulusan sekolah Islam masih belum bisa dibuktikan.
Sekolah yang ikut-ikutan ini bisa-bisa
menjadikan siswanya sebagai kelinci percobaan. Karena dalam pengelolaannya
tidak jelas tujuan dan metodenya. Misalnya, merekrut guru-guru tanpa standar
yang sesuai dengan tujuan sekolah. Sekolah Islam namun gurunya tidak menutup
aurot dengan benar. Tidak banyak yang menjadi guru dengan kerangka berpikir
untuk berdakwah. Yang banyak ialah menjadi guru untuk bekerja. Jadi motivasinya
adalah penghasilan.
Apabila guru sudah sehati dengan tujuan
sekolah, barulah bisa diharapkan pelajaran-pelajaran yang disampaikan akan ikut
selaras. Guru yang berakhlak, tentu akan mempedulikan akhlak siswa. Guru yang berdisiplin,
tentu juga akan menerapkan disiplin pada kelasnya. Guru yang rajin sholat pasti
akan merasa prihatin terhadap siswa yang melalaikan sholat. Bila guru sendiri
tidak mengamalkan, bagaimana hendak mengajarkan pada siswa?
Sekolah Islami Bukan Sekedar Nama
Banyak sekolah yang terfokus kepada jargon,
namun tidak mampu mengimplementasikannya. Misalnya “Menjadi sekolah bertaraf
Internasional”, sedangkan yang menjadi ukuran internasional tidak jelas dan
belum tentu dibutuhkan oleh siswa. Ada yang menerjemahkan Sekolah bertaraf
internasional dengan siswa wajib memiliki laptop, sementara siswa yang
berprestasi tidak jarang dari keluarga miskin.
Sedangkan sekolah Islam, tidak boleh
sekedar berseragam menutup aurot, tetapi juga mengajarkan bahwa menutup aurot
adalah bagian dari keimanan. Sebab hal tersebut bukan aturan sekolah saja, melainkan
juga aturan agama. Jadi sekolah hanyalah menanamkan serta menumbuhsuburkan apa
yang sudah diatur dalam agama. Efek dari komitmen ini seharusnya terlihat dari
keberanian sekolah menyikapi ketaatan atau pelanggaran terhadap aturan agama.
Misalnya, bila siswa mencontek akan ditindak tegas, meskipun itu berdampak pada
turunnya nilai UN yang pada akhirnya bisa menjatuhkan citra di masyarakat.
Sekolah Islami bukan sekolah yang mudah diombang-ambingkan opini masyarakat.
Sekolah Islam harus berkomitmen pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah (BQS). Ini tentu bertolak belakang dengan sekolah sekuler, yang
tidak menjadikan kedua hal tersebut sebagai pijakan. Sebab, sekolah yang BQS
pasti akan menghadapi resiko berat, namun pada akhirnya sekolah yang semacam
itulah yang benar-benar dapat menjawab tantangan zaman dan harapan orang tua.
Siapkah kita mendirikan sekolah seperti
ini? Atau bagi orang tua, siapkah memilih sekolah seperti ini?
Oleh: Ust. Gilig Pradhana, S.S. Ditulis untuk disiarkan dalam acara Morning Coffee di Radio Suara Akbar Jember.
0 comments:
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya