Berita Terbaru :

Pentingnya Identitas Suku, Bangsa, Jenis Kelamin, dan Terutama Agama

(www.smkalfurqan.com) Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa, kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak wajib diisi apabila dia beragama di luar 6 agama yang diakui resmi pemerintah RI saat ini, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu (dari http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/465891-revisi-uu-disahkan--kolom-agama-di-ktp-tak-lagi-wajib-diisi). Kelihatannya sederhana, namun benarkah masalah ini sekedar mengosongkan satu kata saja?


Tentu saja tidak sesederhana itu. Bila memang demikian, tentu tidak perlu diperundangkan bukan? Pada bagian awal, permasalahan apa yang melatarbelakangi penghapusan identitas agama ini? Pada bagian akhir, permasalahan apa yang bisa ditimbulkan dari penghapusan identitas ini?

Pentingnya Identitas

Identitas diri diperlukan agar manusia saling mengenali. Dengan saling mengenali, maka kita dapat memposisikan diri saat berhadapan dengan orang lain. Selain itu kita juga dapat memilih cara yang paling sesuai dengan identitas orang yang kita hadapi.

Allah SWT berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat [Surat ke 49] ayat 13).

Identitas Jenis Kelamin

Kenyataan bahwa manusia itu ada yang laki-laki dan ada yang perempuan, itu bukanlah pilihan, melainkan sudah takdir Allah. Oleh karena itu menjadi laki-laki atau menjadi perempuan tidaklah berpengaruh kepada kemuliaan seseorang. Jikalau ada seperti anggapan feminisme, “agama merendahkan perempuan karena mengklaim bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam)” maka seharusnya mereka berpikir bahwa Adam diciptakan dari tanah yang lebih rendah lagi. Namun anggapan-anggapan kesetaraan gender semacam itu menunjukkan sifat tidak qonaah, menerima takdir Allah.

Seseorang menjadi laki-laki, semata-mata karena ia ditugaskan Allah untuk mengerjakan tugas laki-laki, dan begitu juga sebaliknya. Masing-masing ada perannya. Saat seorang laki-laki mengenali perempuan, maka ia harus bisa menempatkan perempuan itu sesuai fitrahnya. Fitrah perempuan adalah menjadi seorang istri, seorang ibu, penanggung jawab keluarga, pendidik anak-anak. Maka dari itu bila laki-laki tersebut adalah suaminya, kewajibannya terhadap sang istri adalah melindunginya, menafkahinya, membantu pekerjaan rumahnya, mencintainya, mempergaulinya dengan baik dan seterusnya.Bila laki-laki itu adalah anaknya, maka kewajibannya adalah berbakti kepada ibunya lebih dari ayahnya serta tidak mendurhakai keduanya. Demikian juga sebaliknya. Saat perempuan mengenali tugas suaminya sebagai laki-laki, maka ia wajib merelakannya mencari nafkah, mendoakan keselamatannya, melayani keperluannya, dan taat kepadanya selama tidak dalam hal kemaksiatan.

Hubungan keluarga akan harmonis jika satu sama lain saling mengenal, tidak hanya jenis kelaminnya, namun juga peran, hak, dan kewajiban yang berkaitan dengan hal tersebut. Mala petaka akan terjadi saat manusia tidak mengindahkan peran masing-masing, kemudian melampaui batas agama dengan melakukan pernikahan sesama jenis, perempuan dengan perempuan, lelaki dengan lelaki. Kerancuan peran demi kerancuan akan menjerumuskan pelakunya disebabkan fungsi-fungsi lelaki dan perempuan yang seharusnya bisa saling melengkapi tidak ada. Kalaupun pasangan sejenis mengaku bahagia, kebahagiaan itu tidak akan pernah sempurna menyamai pasangan yang menikah sesuai tuntunan agama.

Begitulah dengan mengenali jenis kelamin, seorang manajer dapat memberikan hak cuti hamil dan melahirkan kepada ibu-ibu pekerja, seorang pemimpin dapat membolehkannya memakai jilbab bagi pekerja muslimah, seorang hakim dapat memberikan beban kepada suami dan memberikan hak kepada istri, berkenaan dengan nafkah, waris, perwalian, dan sebagainya, seorang suami dapat memaklumi istrinya yang sakit bulanan, bahkan Allah memberikan keringanan dari syariat-Nya dalam kondisi yang demikian. Bayangkan jika seorang perempuan memutuskan untuk mengoperasi dirinya menjadi laki-laki tanpa alasan medis, atau sebaliknya laki-laki menjadi perempuan. Tentulah semua hak dan kewajibannya menjadi kacau.

Identitas Suku dan Bangsa

Seseorang tidak dapat memilih dirinya dilahirkan menjadi suku apa ataupun bangsa mana. Semua terjadi sekali lagi karena kehendak Allah. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menghinakan suku atau bangsa tertentu. Masing-masing suku dan bangsa memilliki budaya tersendiri yang memiliki sisi positif dan negatif, sehingga dengan itu komunikasi antar bangsa dapat memungkinkan kita untuk saling belajar dan saling memberi. Nabi Muhammad mengajarkan kita kesetaraan dalam derajat,
“Wahai segenap manusia, sesungguhnya Robbmu satu dan bapakmu satu. Tidak ada kelebihan bagi seorang Arab atas orang Ajam (bukan Arab) dan bagi seorang yang bukan Arab atas orang Arab dan yang (berkulit) merah atas yang hitam dan yang hitam atas yang merah, kecuali dengan ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan hal ini?” (HR. Ahmad)

Dengan jumlah manusia yang begitu banyaknya, bila semuanya sama-sama tetap dalam satu suku dan satu bangsa tentu tidak akan ada bahasa yang beraneka ragam, tidak tercipta budaya yang indah, tidak muncul berbagai seni kerajinan yang kita jadikan oleh-oleh setiap pulang dari perjalanan. Sungguh perbedaan ini adalah rencana Allah yang begitu kaya.

Dalam masyarakat Madinah yang dibangun oleh kepemimpinan Rosulullah SAW dalam Khilafah Islam, warga negaranya pun terdiri dari berbagai suku bangsa. Ada Bilal bin Rabbah dari Habasyah (Afrika), Abu Dzar dari Ghifar, Salman dari Persia, Shuhaib bin Sinan dari Rumawi, dan berbagai tempat lainnya. Namun sama sekali tidak mempermasalahkan status kebangsaan.Suatu saat dikisahkan dalam Sirah Ibnu Hisyam (2/588) memang sempat terjadi kekhilafan sahabat karena hasutan orang Yahudi bernama Syaas bin Qais. Mereka dihasut sehingga kaum Anshar dan kaum Muhajirin terpecah dan bersiap mengangkat senjata sebagaimana dulu pada masa Jahiliyah. Rosulullah SAW pun mendamaikan mereka, “Wahai kaum Muslimin, alangkah keterlaluan kalian! Apakah (kalian mengangkat) seruan jahiliyah, padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan memuliakan kalian, memutus perkara jahiliyah, dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam, serta menyatukan hati kalian?” Rosulullah SAW sampai menyebut seruan untuk bersatu dalam suatu kelompok (baik itu sesuku atau sebangsa) untuk urusan maksiat adalah seruan jahiliyah.

Identitas Agama

Bagi sebagian besar bangsa Indonesia yang dikenal religius, masalah identitas adalah masalah yang tidak sepele. Mulai dari cara berpakaian bahkan nama menjadi sesuatu yang sangat diperhatikan dan dihargai. Kaum Muslimin menghargai nama sebagai doa, oleh karena itu sebisa mungkin mereka mencarikan nama-nama yang tidak hanya indah diucapkan namun juga mengandung pengharapan yang tinggi kepada Allah SWT. Namun sayang sekali ini dinodai oleh sekelompok ummat beragama yang menggunakan nama-nama Islami tapi untuk tujuan yang bertentangan.

Sebagaimana yang banyak terjadi di Indonesia modus-modus pemurtadan yang terselubung, melalui brosur, buku, bahkan kaligrafi Arab yang nampaknya menyerupai ajaran Islam namun di dalamnya ternyata berisi ajakan untuk masuk ke dalam agama lain. Demikian juga tempat-tempat ibadah yang didirikan dengan pemalsuan identitas atau disamarkan. Terakhir, maraknya penyelenggaraan upacara ibadah ummat beragama non-Islam yang melibatkan ummat Muslim, termasuk dalam acara doa bersama, padahal hal tersebut nyata-nyata dilarang dalam Islam. Ini terjadi saat identitas agama menjadi campur-aduk tidak jelas mana batasnya.

Dalam Islam penganut agama lain diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya masing-masing, jaminan tersebut berupa perlindungan keamanan dari Kholifah. Ini diperintahkan oleh Rosulullah SAW terkait hak-hak warga negara non-Muslim:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ (أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ فِي تَارِيخِ بَغْدَادٍ)
Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.”

Di Palestina, pasukan Umar bin Khathab berhasil menaklukkan kota yang dikenal dengan nama Yerusalem saat itu yang berada di bawah kekuasaan Romawi dengan tanpa peperangan. Di dalamnya tinggal kaum Nasrani dan Yahudi, kemudian masuklah kaum Muslimin sebagai penguasa kota suci tersebut. Umar RA diundang datang sendiri oleh uskup Patriarch Sophronius untuk menerima kunci kota. Beliau juga dipersilakan masuk ke dalam gereja untuk melakukan sholat di sana namun ditolak dengan tegas, “Jika saya melaksanakan shalat di gereja ini, saya khawatir para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya Gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat diluar,” ucap Umar yang tetap menghormati pemeluk agama lain dalam wilayah perlindungan Islam.

Jelas sekali keberadaan identitas agama, justru mempermudah ummat beragama untuk saling menghargai dan memperlakukan satu sama lain dengan baik. Misalnya, dalam Islam terdapat sedikitnya 6 hak yang terangkum dalam sebuah hadits:

"Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam: Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam, dan jika dia mengundangmu maka datangilah, jika dia minta nasihat kepadamu berilah nasihat, jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah maka balaslah (dengan doa: Yarhamukallah), jika dia sakit maka kunjungilah dan jika dia meninggal maka antarkanlah (ke kuburan)” (HR Muslim)

Perhatikan bahwa menjawab salam, berbeda jika yang mengucapkannya seorang Muslim atau bukan. Mendoakan orang bersin pun dilakukan setelah yang bersin menunjukkan identitasnya, yakni mengucapkan hamdallah. Lebih jauh Allah berfirman mengenai pentingnya identitas dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْلأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْجَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُغَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Ahzab 59)

Renungkan bahwa Allah memerintahkan berjilbab agar mudah dikenal dan tidak diganggu. Begitu jelas dan mudah tuntunan-Nya ini. Sebab secara alami, muslimah yang berjilbab secara sederhana biasanya tidak diganggu dibandingkan dengan wanita yang berpenampilan menor. Kalaupun diganggu, maka muslim yang lain akan segera menolongnya sebagaimana yang pernah terjadi di masa Rosulullah SAW. Seorang Muslimah yang berbelanja di pasar ditarik jilbabnya oleh pemuda Yahudi Bani Qoinuqo. Akhirnya Rosulullah SAW mengusir mereka dari wilayah Islam dan Allah SWT melaknat mereka.

Demikianlah pentingnya menjaga identitas. Jikalau kita tidak mengenali agama seseorang, maka kita malah akan mudah melalaikan hak-haknya dan mendzaliminya.
Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

Mohon saran dan kritiknya


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Seluruh kebaikan dari situs ini boleh disebarluaskan tanpa harus mengutip sumber aslinya, karena pahala hanya dari Allah | Dikelola oleh © SMK Al-Furqan Jember.