Sekitar
tahun 2007 dr. Adian Husaini menemukan buku berjudul “Beriman dengan Taqwa” di
Jakarta. Tak dinyana, buku tersebut merupakan buku serial Pustaka Teologi
terbitan salah satu Penerbit Katolik di Yogyakarta. Sebelumnya, pada tahun 1992
terbit sebuah buku “Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik” yang tentu saja isinya
bukan beriman kepada Allah dan tidak ada Tuhan selain-Nya, bukan pula beriman
kepada Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Sebagian kalangan Kristen memang
sengaja menggunakan istilah-istilah yang khas dalam Islam.
Sebuah
lembaga mengatasnamakan “Dakwah Ukhuwah” (PO BOX 1272/JAT Jakarta 12012)
menerbitkan brosur-brosur Nasrani. Akhir-akhir ini kita mungkin sering
mendengar “Mi’roj Isa Al Masih” untuk menyebutkan peristiwa penyaliban Yesus
Kristus. Bahkan Pendeta A. Poernama Winangun menuliskan buku “Riwayat Singkat
dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, dengan klaim bahwa yang dimaksud dengan
dua perkara yang harus dipegang ummat Islam adalah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, bukan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tentu
penggunaan istilah yang campur aduk ini akan membingungkan tidak hanya bagi
ummat Islam namun juga akan membingungkan ummat Nasrani sendiri. Sebab Istilah
seperti iman, taqwa, dakwah, ukhuwah, Isa Al Masih, bahkan Allah adalah istilah
yang secara khas dipakai oleh Al-Qur’an dan Hadits. Istilah-istilah kunci di
dalam Islam memiliki cara pengucapan yang baku dan makna standar (syar’i) yang
tidak berubah-ubah sepanjang masa. Itu
dikarenakan sifat Al-Qur’an yang terjaga teks dan maknanya. Misalnya, untuk
menyebutkan seseorang itu mukmin, yang dimaksud adalah beriman kepada rukun
iman yang enam. Seorang Kristen yang percaya kepada tritunggal tidak akan
disebut “mukmin”. Sebaliknya Allah memperkenalkan istilah “kafir” bagi orang
yang belum masuk ke dalam agama Islam, menyembah selain Allah, atau mengingkari
Allah. Tidak ada hak bagi non-Muslim untuk meminta kata-kata itu dihapuskan
dalam Al-Qur’an atau tidak digunakan oleh kaum Muslimin.
Pencampuradukan
ajaran agama tidak cukup sampai disitu, menjelang Natal kalangan Nasrani sangat
agresif untuk mengundang kaum Muslimin yang awam untuk ikut menghadiri Perayaan
Natal Bersama (PNB). Di dalamnya biasanya ummat Islam diajak untuk ikut
membakar lilin, memakan roti yang menurut keyakinan Kristen sebagai daging
Yesus, meminum air atau terkadang miras yang diyakini sebagai darah Yesus, dan
mendengarkan ceramah atau menyanyikan lagu mengenai pengorbanan Yesus, yang
semua itu bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. (Baca lebih banyak mengenai
modus misionarisme yang menggunakan istilah Islami di http://www.voa-islam.com/read/christology/2010/12/19/12377/skandal-misi-natal-kristenisasi-berkedok-maulid-nabi/)
Allah
memerintahkan kita dengan jelas, “Katakanlah:
‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku’." (QS
Al-Kafirun)
Rosulullah
SAW memasukkan orang yang suka meniru ke dalam golongan yang ditiru.
“Barangsiapa meniru-niru perbuatan suatu kaum, ia bagian dari mereka” (HR Abu
Dawud). Kalau yang ditiru adalah kesholihan, maka orang tersebut akan termasuk
dalam golongan sholih. Namun manakala yang ditiru adalah kemusyrikan maka ia
pun akan dimasukkan ke dalam golongan yang sama.
Sudah
sejak lama para ulama mengetahui modus pluralisme misionaris melalui
pencampuradukan agama. Oleh karena itu MUI mengeluarkan fatwa pada 7 Maret 1981
yang isinya bahwa “Mengikuti upacara
Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram” sebagai salah satu usaha
mencegah maraknya pemurtadan.
Tentu
saja akan banyak kalangan yang berusaha merobohkan benteng aqidah ummat Islam.
Salah satu caranya adalah dengan memberikan label-label negatif, seperti tidak
toleran, ekslusif, egois, tidak menyadari pluralisme, ekstrim, dan banyak
caci-maki lainnya. Sebagaimana orang-orang kafir Quraisy dulu juga
mengolok-olok Nabi dengan sebutan gila, tukang sihir, dan pemecah-belah bangsa
Arab. Namun sebagaimana Nabi dulu tetap teguh dalam ber-Islam dan tidak
menghiraukan olok-olok mereka, maka kita pun perlu meneladaninya dengan tidak terlalu
sibuk dengan membela diri. Cukuplah Allah yang akan membalas cemoohan mereka.
Bila kita menengok sejarah, di abad
pertengahan kaum Kristen Eropa dilanda abad kegelapan, sebagaimana jaman
jahiliyah di Arab sebelum datangnya Islam. Gereja Roma menggunakan otoritas Paus
untuk menginkuisisi dan membunuh kaum “heresy” hanya karena tidak setuju dengan
doktrin gereja (bidat). Baca lebih lanjut di http://www.sarapanpagi.org/inkuisisi-dalam-sejarah-gereja-vt1554.html.
Sedangkan penaklukan Yerusalem oleh Umar
bin Khattab dilakukan tanpa perusakan dan pembantaian manusia. Khalifah kedua
itu malah memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada kaum Nasrani. Namun
beliau menolak ketika dipersilakan sholat di dalam gereja, sebagaimana beliau
juga tidak pernah menganjurkan berdoa bersama.
Kemuliaan akhlak Umar rodhiyallohu anhu tentu beliau dapatkan
dari Nabi Muhammad SAW yang menaklukkan Makkah, menghancurkan berhala di dalam
rumah Allah Ka’bah, namun membiarkan kaum Musyrik Quraisy untuk menyembah
berhala di rumahnya masing-masing sampai turun perintah Allah untuk mensucikan
Tanah Haram dari orang kafir. Akhirnya justru sebagian besar memeluk agama
Islam.
Dalam berbagai ekspedisi Jihad yang
dilakukan dengan penuh ketaatan oleh kaum Muslimin atas perintah
Kholifah-kholifah, Islam membebaskan daerah-daerah yang jauh mulai dari Persia
hingga Romawi dan tidak satupun terjadi pembantaian terhadap ummat beragama
lain. Betapapun perang terjadi, sasaran jihad hanyalah musuh yang memerangi,
bukan wanita, anak-anak, orang tua, bukan pula pendeta maupun rahib, bahkan
tempat beribadah ummat beragama lain pun tetap aman. Ini jelas jauh berbeda
dengan konsep peperangan menurut agama lain maupun negara demokrasi manapun
yang ada pada saat ini. Jangankan demikian, dikisahkan sebuah rumah milik
Yahudi yang digusur secara sepihak oleh Gubernur Amr bin Ash di Mesir akhirnya
dikembalikan kepada pemiliknya oleh pengadilan yang dipimpin Kholifah Umar bin
Khattab.
Demikianlah cara Islam menghormati
pemeluk agama lain, selama mereka menjadi warga negara (dzimmi) dan mematuhi perjanjian dengan Negara Islam. Kaum Muslimin
wajib bersikap adil kepada mereka, menjaga hak-hak mereka, melindungi harta,
nyawa, dan kehormatan kaum kafir, bahkan ikut membela saat ada musuh yang
menyerang pemeluk agama lain. Islam memberikan toleransi yang tinggi dalam hal
dunia, namun tidak bekerja sama dalam hal aqidah, ibadah, dan syariah. Wallahu
a’lam bish showab.
0 comments:
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya