Sejak awal kehadiran Belanda ke Indonesia sudah dilatarbelakangi
semangat penjajahan. Dengan dukungan otoritas gereja, semangat 3G, yakni gold,
gospel, and glory mendorong tentara-tentara kolonial berpetualang ke penjuru
dunia mencari daerah-daerah jajahan. Kondisi Indonesia yang kala itu terdiri
atas banyak kerajaan yang bersuku-suku memudahkan misi mereka untuk:
(i)
Merampas harta kekayaan
daerah jajahannya (Gold)
(ii)
Menyebarkan agama Kristen (Gospel)
(iii)
Meluaskan kekuasaan (Glory)
Namun perang tentu tidak akan dengan mudah dimenangkan meski
Belanda memiliki persenjataan yang lebih modern dan lengkap. Karena
dibandingkan dengan wilayah nusantara luas dan penduduknya banyak, kekuatan tentara
Belanda hanyalah seujung kuku. Lagipula biaya perang tentu tidak sedikit.
Cara yang ditempuh Belanda saat itu adalah dengan devide et
impera, politik pecah belah atau adu domba; yakni dengan saling
mempertentangkan satu kerajaan dengan kerajaan lainnya, menyulut konflik dan
berpura-pura memberikan bantuan dengan imbalan yang besar bila ikut memenangkan
peperangan.
Taktik ini terbilang sukses. Banyak raja yang termakan hasutan
Belanda dan terjatuh dalam perang saudara. Setelah memenangkan peperangan
kerajaan yang dibantunya tidak serta dapat merayakannya karena korban dan
kerugian material yang tidak sedikit, ditambah kondisi bahwa kerajaan ternyata
terikat oleh kontrak penjajahan dari Belanda. Di puncak kondisi seperti ini,
kerajaan besar sekalipun takluk di tangan.
Kini telah lebih dari setengah abad berlalu sejak Belanda
hengkang dari Indonesia, diusir oleh para mujahid pejuang kemerdekaan yang
berjihad fi sabilillah. Namun penjajah itu meninggalkan jejak yang masih
menyisakan tradisi dan hukumnya, yakni “Bergelijk Wetbok” (Kitab Undang-undang
Hukum Perdata) dan “Wetbok van Stravrecht” (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Di sisi lain, cara berpikir kedaerahan pun masih ada. Jikalau
dulu sifatnya kesukuan, kini kebangsaan. Wilayah Indonesia memang merupakan
gabungan dari kerajaan-kerajaan kuno, namun nampaknya bersatunya berbagai suku
yang ada ditambah pengalaman dijajah selama 350 tahun belum membuat bangsa kita
belajar betapa berbahayanya Devide et Impera. Ironisnya, dulu penjajah harus
datang dan mendatangkan pasukannya untuk memerangi Indonesia, kini penjajah
cukup menyebarkan isu dan fitnah, maka Indonesia pun berperang dengan
tetangganya sendiri.
Adalah berbagai kasus “klaim-mengklaim” yang terjadi antara
Malaysia dengan Indonesia, membuat kita terprovokasi dan bersemangat “mengganyang
Malaysia”. Berbagai julukan jelek disematkan satu sama lain. Meski sepertinya
tidak berujung pada peperangan, jelas masalah ini menyisakan bom waktu. Padahal
di awal abad ke-19, Indonesia menapak kebangkitan dengan munculnya berbagai
gerakan perjuangan kemerdekaan yang ingin menyatukan wilayah nusantara. Mereka
tidak lagi mementingkan suku mereka sendiri, melainkan memandang Indonesia
sebagai satu entitas yang terpadu.
Kini kita dihadapkan pada problem yang sama, namun lebih besar.
Jika kita masih mementingkan bangsa sendiri, maka sama halnya mengulang sejarah
penjajahan dan itu berarti kita mundur ke belakang. Sikap nasionalisme atau
paham kebangsaan, sesungguhnya tidak lain adalah bentuk baru dari sikap
kesukuan, hanya mengikat wilayah lebih besar. Namun paham semacam ini sudah
tidak layak mendapat tempat di era globalisasi, sebagaimana penjajahan sudah
harus dihapuskan, persis seperti amanat dalam pembukaan UUD 45. Saat ini hingga
masa datang, manusia harus disatukan dalam paham globalisme, menyatukan kemanusiaan
dan menghilangkan sekat-sekat kebangsaan. Bahwa suku-suku di Indonesia masih
ada dan diakui, itu menunjukkan diakuinya sebagai bangsa Indonesia tidak serta
merta menghapuskan identitas suku yang ada. Demikian pula bila kelak bersatu
sebagai warga dunia, bangsa-bangsa pun masih akan dapat diakui identitasnya.
1 comments:
Sebenarx dg nasionalisme dulu kita bersatu, Tpi skrg qt malah berpikir elu-elu gue-gue.
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya