Pertanyaan yang sama itulah yang
seharusnya ditekankan saat kita melakukan sesuatu yang besar dalam hidup kita:
bekerja. Kenapa bekerja? Bukankah kita akan menghabiskan separuh hidup kita
bersama keluarga dan separuh lagi di tempat kerja? Nah, apakah anda sekarang
bekerja untuk menjawab pertanyaan tersebut atau tidak? Tanyakan sekali lagi, “Mau
kemana anda dengan pekerjaan anda itu?” Jawabannya akan sangat menentukan
apakah anda akan bertahan lama dalam pekerjaan itu atau tidak.
Anda
tentu ingat ketika memerintahkan kaum Muslimin hijrah dari Makkah ke Madinah,
Rosulullah bersabda bahwa amalan seseorang tergantung niatnya. Barangsiapa yang
hijrahnya untuk seorang wanita, maka nilainya rendah, namun bila hijrahnya
untuk Allah dan RosulNya maka nilainya tinggi.
Jadi
saya tekankan sekali lagi sebelum kita membahas lebih jauh, bekerjalah untuk
sesuatu yang dengannya anda dapat mencapai tujuan hidup anda, atau tinggalkan
pekerjaan itu dan carilah pekerjaan lain.
Kemana SMK Al-Furqan?
SMK Al-Furqan Jember menetapkan visinya dengan “Al-Qur’an dan
As-Sunnah”, Terdengar muluk? Bagus, sebab dengan begitu kita tidak mengerjakan pekerjaan kita
untuk sesuatu yang remeh-temeh. Sekolah yang hendak menjadikan segala
aktivitasnya sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya, sebenarnya bukan cita-cita yang
utopis yang hanya ada di angan-angan. Malahan, sesungguhnya cita-cita ini
adalah kewajiban bagi seseorang yang mengikrarkan dirinya sebagai seorang
Muslim, ingat? Kita berjanji bahwa hidup kita, mati kita hanyalah untuk Allah
Robbal ‘Âlamiin.
Jadi kalau
seorang Muslim saja dituntut untuk menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, apa yang
salah dengan menjadikan itu sebagai cita-cita bersama, ustadz, murid, dan
sekolah semuanya bersama-sama mewujudkan cita-cita tersebut.
Bagaimana Implementasinya?
Oke, mungkin anda telah lama mendengar
visi sekolah yang berbunyi menjadikan insan yang beriman dan bertaqwa, namun
tidak terdapat perbedaan dengan sekolah lain yang tidak berusaha menjadikan
muridnya demikian. Singkatnya, sekolah Islam sama saja dengan sekolah umum.
Lalu apa gunanya dituliskan dalam visinya: Beriman dan bertaqwa? Apakah sekolah
yang bervisi Al-Qur’an dan As-Sunnah juga akan menjadi sekedar slogan?
Permasalahan
yang terjadi biasanya adalah, kalau boleh diumpamakan, anda ingin mengambil
mutiara di dasar laut tetapi tidak tahu caranya pergi ke sana, atau, setelah
menyelam anda disibukkan dengan menangkap ikan, mencari karang, berenang
menikmati pemandangan dan melupakan tujuan utamanya. Nah, terjemahannya adalah:
(1)
Kita menentukan
tujuan namun tidak mengetahui maknanya, sehingga tentu saja tidak tahu
bagaimana caranya menuju kesana. Anda ingin mewujudkan sekolah yang Islami,
namun bagaimana itu sekolah yang Islami? Apakah yang murid-muridnya berjilbab?
Apakah yang gemar membaca Al-Qur’an? Apakah satu ustadz dengan ustadz yang lain
punya pandangan yang sama tentang konsep sekolah yang Islami? Selama
pertanyaan-pertanyaan yang muncul tidak bisa dijawab dengan satu jawaban, maka
akan terjadi tarik ulur. Disinilah banyak sekolah yang bercita-cita menjadikan
lulusannya generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun
mereka tidak tahu bagaimana wujudnya beriman dan bertaqwa.
(2)
Kita mengetahui
tujuan dan caranya menuju ke sana, namun disibukkan dengan hal-hal yang tidak
esensial, sering terpecah fokusnya pada masalah-masalah remeh. Misalnya
keinginan untuk menjadikan sekolah yang Islami, namun diberikan beban untuk
mengajarkan mata pelajaran-mata pelajaran yang tidak berhubungan dengan akhlak,
tidak juga dengan pekerjaan secara langsung.
Oh,
pelajaran apakah itu? Contohnya saja ya, seni pertunjukan, seperti menari, atau
salah satu materi dalam pendidikan kewarganegaraan, seperti kebebasan pers,
atau sistem pernafasan hewan amfibi dalam pelajaran biologi. Apa hubungannya
dengan akhlak? Apakah mempelajarinya akan meningkatkan keimanan kepada Allah?
Apakah kelak setelah lulus dibutuhkan dalam pekerjaan? Atau dalam kehidupan? Tentu
saja akan ada yang menjawab “Ya, penting.” Namun dengan alasan yang cukup
memaksa. Bayangkan, murid memiliki waktu hanya 6-7 jam sehari di sekolah untuk
mempelajari tak kurang dari 14 mata pelajaran yang semuanya kita anggap
p-e-n-t-i-n-g!
Jadi
cobalah memeras pelajaran yang terpenting di antara yang penting itu. Dari pada
mempelajari seni tari yang syubhat (diragukan kebolehannya dalam agama),
anda bisa mengajarkan seni ukir yang bisa dijadikannya pekerjaan sebagai tukang
kayu. Kemudian Islam juga mengajarkan tata negara, kenapa tidak memilih
mengajarkan tata negara Islami alih-alih ideologi-ideologi barat? Kalaupun ada
pelajaran biologi, sistem pernafasan manusia jelas lebih penting untuk didalami
dan dikuasai karena pada saat darurat, anda tentu tidak akan bingung antara
menyelamatkan saudara anda atau hewan peliharaan anda.
Jadi,
implementasi sebuah visi membutuhkan kejernihan dalam menerjemahkan visi tersebut
ke dalam ukuran-ukuran yang nyata, serta keberanian untuk menentukan langkah-langkah
yang diperlukan meskipun kenyataannya harus berhadapan dengan sistem pendidikan
yang berjalan. Berhadapan bagaimana maksudnya?
Pengorbanan Demi Sebuah Visi
Di SMK Al-Furqan Jember, setiap mata
pelajaran harus menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai patokannya.
Konsekuensinya apabila terdapat materi yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka harus diberikan penjelasan yang meluruskan, dan apabila memungkinkan
maka pelajaran tersebut dihapuskan dari kurikulum. Apakah ada pelajaran semacam
itu? Banyak!
Kita
mulai dari IPS, dimana di dalamnya terdapat berbagai materi tentang sistem
perekonomian yang tidak Islami. Disini ustadz kami tetap menyampaikan materi
tersebut dengan mengkomparasikannya dengan sistem syariah Islam, memperkenalkan
cara bermuamalah yang sesuai sunnah, menjelaskan keburukan-keburukan
perekonomian kapitalis, sehingga murid tetap mendapatkan pelajaran IPS namun dengan rambu-rambu keislaman.
Kemudian
pelajaran ideologis seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diganti mutlak
dengan Sirah Nabawiyah dan Sistem Pemerintahan Islam, hal ini disebabkan pelajaran
tersebut memang didesain untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran kufur.
Ajaran-ajaran sesat seperti pluralisme dan sekulerisme terlalu kental di dalam
PKn, belum lagi semangat nasionalisme yang merupakan bentuk fanatisme modern
juga bertentangan dengan semangat ukhuwah Islamiyyah. Mengkomparasikannya
dengan Islam bisa-bisa saja, namun akan sangat memakan waktu. Murid akan
disibukkan dengan hafalan-hafalan pasal dan definisi yang tidak diperlukan
murid dalam hidupnya.
Pelajaran-pelajaran
lain hanya perlu sedikit penyesuaian, misalnya dalam naskah teks bahasa
Indonesia sempat kami temukan tema “striptease” (tarian telanjang) dan dalam
gambar buku pegangan bahasa Inggris terdapat gambar patung telanjang yang
nampaknya hal ini memang terdapat unsur kesengajaan dari pihak-pihak yang
memusuhi Islam.
Permasalahan
yang paling ringan yang akan dihadapi sekolah dengan penyesuaian-penyesuaian
ini adalah ketidaksesuaian antara materi yang diajarkan di sekolah dengan yang
diujikan secara nasional (Ujian Sekolah maupun Ujian Nasional). Untunglah,
materi-materi yang bersifat ideologis yang sangat vital tidak ikut menentukan
kelulusan. Sehingga meski berdampak pada minimnya nilai murid, namun masih
dapat ditutupi dengan prestasi di bidang lain yang di-UN-kan.
Permasalahan
yang lebih berat adalah apabila kurikulum Islami ini tidak disetujui oleh orang
tua/wali. Maka anda perlu bersiap untuk kehilangan minat pasar. Dan lebih parah
lagi bila kurikulum ini dituduh sebagai kurikulum radikal, maka ada kemungkinan
sekolah anda akan kehilangan ijin operasional. Tetapi, yang saya katakan kepada
ustadz-ustadz saya adalah:
Anda
bekerja disini untuk tujuan hidup anda, lakukanlah dengan sepenuh hati atau
tidak usah sama sekali. Lebih baik anda mati karena memperjuangkannya daripada
anda hidup dengan mengkhianatinya.
0 comments:
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya