Berita Terbaru :

Sistem Pengendalian Kedisiplinan: Catatan Pelanggaran Siswa


Dalam tulisan sebelumnya telah panjang dibahas apa definisi disiplin, bagaimana membuat prioritas peraturan dan apa saja contohnya dalam suatu sekolah. Kali ini kita akan merinci bagaimana implementasi peraturan yang dicontohkan di SMK Al-Furqan Jember. Bagi yang belum sempat membacanya, silakan merujuk ke tulisan ini. Nampaknya perlu sedikit diulang tabel “Tingkat Pelanggaran Siswa”:
TINGKAT
CONTOH
POIN
TINDAKAN
BERAT
1.      Berzina/Miras/Narkoba
2.      Tawuran/berkelahi
3.      Berpacaran
4.      Merokok
5.      Tidak mau menutup aurot
6.      Tasyabbuh bil kuffar
7.      Pelanggaran lainnya yang besar menurut Syari’at Islam
1.      100
2.      100
3.      50
4.      50
5.      50
6.      50
7.      ?

1.      Diberi nasehat
2.      Disita dan tidak dikembalikan (benda tidak syar’i)
3.      Diberi surat peringatan
4.      Diskors
5.      Dikeluarkan
SEDANG
1.      Bercampur antara lelaki dan perempuan (contoh bergandengan tangan atau berboncengan sepeda)
2.      Mengumpat/memaki/mencela
3.      Memodifikasi seragam
4.      Tidak amanah/mengabaikan guru
5.      Tidak melakukan sholat berjamaah tanpa alasan
6.      Membolos
7.      Pulang mendahului (Alpa) tanpa alasan
8.      Membawa HP
9.      Tidak memakai sepatu/seragam yang sesuai tanpa alasan
1.      25


2.      25
3.      20
4.      15
5.      15
6.      10
7.      10
8.      10
9.      10
1.      Diberi nasehat
2.      Diberi tugas belajar
3.      Diberi tugas kebersihan
4.      Diberikan surat peringatan
5.      HP Disita dan tidak dikembalikan
RINGAN
1.      Terlambat
2.      Berpenampilan tidak rapi/sopan

1.      5
2.      5
1.      Diberi nasehat
2.      Diberi tugas belajar
3.      Diberi tugas kebersihan
Catatan:
1.      Apabila poin pelanggaran telah mencapai 50, maka kaur kesiswaan harus melakukan peringatan tertulis kepada orang tua/wali.
2.      Apabila poin pelanggaran telah mencapai 75, maka kaur kesiswaan harus melakukan pemanggilan orang tua/wali. Disertai sanksi skors menurut tingkat pelanggarannya.
3.      Apabila poin pelanggaran telah mencapai 100, maka sekolah memanggil orang tua/wali dan mengembalikan siswa kepada orang tuanya untuk dipindahkan ke sekolah lain.
Nah, Anda mungkin telah menebak maksud dari pemberian dari poin-poin tersebut di dalam tabel. Penjelasan di bawahnya (catatan) mungkin telah memadai, namun apakah tujuan dari pemberian poin? Apakah tidak menyulitkan bagi guru untuk mencatat poin-poinnya? Semoga semua pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui tulisan ini.

Penahapan Tindakan

Satu dua murid mungkin dikenal “trouble maker” artinya sering membuat masalah. Seperti kasus yang pernah ditemui di sebuah sekolah, katakanlah namanya Anton, dia hampir selalu terlambat masuk, rutin merokok, dan di status facebooknya dia beberapa kali menuliskan bahwa dia meminum bir. Guru BP berulang kali memanggilnya, menasehatinya, memberinya tugas belajar, dan kemudian memberinya surat peringatan. Namun masalah yang melatarbelakangi lebih kompleks dari apa yang dibayangkan. Anton bekerja sebagai penjaga counter HP pada shift malam, dia masuk jam 11 dan pulang pukul 5 pagi. Saat dia berusaha menyempatkan untuk istirahat, tiba-tiba dia sudah terlambat untuk masuk. Anton berusaha tetap masuk dan melawan rasa malunya karena terlambat datang ke sekolah. Gurunya menghukum push-up, menyapu, menghafalkan hadits, dan macam-macam cara telah dicoba. Namun Anton tidak bergeming dari jadwalnya. Dia juga mengaku merokok, namun kini sudah berkurang frekuensinya hingga hanya satu batang sehari, katanya. Bila dipandang dari pelanggarannya, Anton melakukan pelanggaran berat. Namun bila diukur dari perkembangannya, Anton sudah mengalami kemajuan. Guru-guru kebingungan harus melakukan apa terhadapnya, apakah Anton harus dihukum (lagi) karena dia masih merokok, ataukah dia perlu diberi apresiasi (penghargaan) karena dia telah berhasil mengurangi frekuensi merokoknya. Bila Anton dihukum, maka besar kemungkinan dia akan memandang usaha perbaikannya sia-sia. Namun bila diapresiasi, maka teman-temannya akan memandang pelanggaran yang dilakukan Anton ternyata tidak masalah. Masalah bertambah rumit ketika Anton menulis status meminum bir, yang ketika dikonfirmasi ternyata hanya bergurau saja. Tapi siapa yang tahu kebenarannya?
Orang mungkin berpikir bahwa sudah saatnya Anton dikeluarkan. Tetapi tunggu sampai kita melihat latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Anton terlibat pergaulan bebas. Teman-temannya beraliran punk. Dia telah pindah sekolah dan tidak dapat melanjutkan kelasnya, sehingga kemungkinan besar dia akan berhenti bila dikeluarkan dari sekolah barunya ini, sebagaimana yang terjadi pada saudaranya. Dan bila dia berhenti, mudah sekali ditebak bagaimana pelampiasannya. Jadi, guru-guru berpikir bahwa mempertahankannya di sekolah adalah lebih baik daripada mengeluarkannya. Mereka menganggap bahwa resiko putus sekolah dan salah pergaulan adalah tanggung jawab sekolah.
Di tengah benang kusut semacam ini, apabila sekolah tidak memiliki tahapan pengendalian kedisiplinan maka akan terjebak pada buah simalakama; Bila Anton dikeluarkan maka akan putus sekolah dan jatuh pada pergaulan yang salah, bila tidak dikeluarkan maka akan mengganggu kedisiplinan murid-murid lainnya. Pilihan terbanyak mungkin akan jatuh pada yang pertama, mengeluarkan Anton dari sekolah. Tapi tanpa tahapan, itu akan menjadi keputusan yang tidak bijaksana.

Pelanggaran Awal

Masih ingat prinsip bahwa “Tidak semua pelanggaran perlu dijatuhkan sanksi. Tetapi semua pelanggaran harus ditindaklanjuti”? Penting sekali untuk menindak pelanggaran selagi masih segar, yakni pada saat menangkap basah pelakunya. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa tindakan yang dilakukan guru adalah berhubungan dengan perbuatan yang baru saja dia lakukan, sekaligus memberikan kesan bahwa guru benar-benar mempedulikan apa yang dilakukan oleh murid.
Bila guru menemui muridnya mengumpat, akan sangat mungkin dia segera melupakan apa yang baru saja diucapkannya, terlebih bila itu sudah menjadi bagian dari “gaya bicara”nya. Maka guru yang peduli akan segera menemui murid tersebut, dan menegurnya ditempat. Sedikitnya guru bisa menunjukkan sikap atau wajah yang tidak suka guna mengindikasikan bahwa perbuatan murid tersebut salah. Lebih baik lagi bila tindak lanjutnya berupa nasehat. Semakin besar usia murid maka caranya pun perlu semakin bijak. Misalnya dengan menanyakan, “Menurutmu jika ucapan itu ditiru adikmu, apakah kamu suka?” Kita tentu tidak mengharapkan jawaban “Ya!” yang mengindikasikan betapa parahnya akhlak si murid. Tetapi apabila hal terburuk yang terjadi, guru tidak boleh mudah terpancing. Maka sebaiknya guru menyiapkan pertanyaan selanjutnya, “Kalau kamu suka, apakah kamu juga suka kalau ucapan kotor itu ditujukan kepada ibumu?” Kita berharap agar murid berpikir, apalagi bila disaksikan teman-temannya, diharapkan murid akan menunjukkan sikap yang sedikitnya dapat diterima oleh lingkungannya. Sebab bila dia masih ngeyel menampakkan sikap arogannya, dia akan menghadapi resiko dijauhi temannya sendiri.
Teguran lisan seringkali cukup efektif untuk mendidik murid-murid yang polos, melakukan kesalahan karena ketidaksengajaan atau ikut-ikutan. Namun untuk murid yang memang telah terbiasa melanggar perlu sanksi ringan disamping tetap memberikan nasehat. Misalnya saat murid mengumpat, guru menegurnya, menasehatinya dan menyuruhnya push up. Seorang guru melakukannya kepada murid-muridnya seraya berkata, “push up ini tidak akan membuatmu berhenti mengumpat, namun paling tidak akan membuatmu ingat bahwa ada orang yang pernah peduli kepada kebaikanmu.”

Pelanggaran Kedua

Pelanggaran awal kerap menjadi pelanggaran yang tidak perlu diingat, sehingga juga tidak perlu dicatat, kecuali bila pelanggarannya tergolong sedang atau berat. Guru adalah sosok yang diharapkan bisa mengukur tingkat keseriusan pelanggaran itu. Namun bila kemudian pelanggaran yang sama diulang oleh murid, maka sudah saatnya guru mengajaknya berbicara.
Hal pertama yang harus dilakukan guru adalah menganalisis, tanyakanlah “kenapa berbuat seperti itu?”. Dengan demikian guru akan dapat memberikan tindak lanjut yang matang. Ditanyai “kenapa?” juga dapat memberikan dampak psikologis bagi murid pelanggar bahwa dirinya dihargai tidak hanya sebagai pelaku pelanggaran, namun juga sebagai manusia. Apapun yang disampaikan murid, janganlah disanggah, melainkan catatlah dalam buku. SMK Al-Furqan Jember memberikan contoh yang baik sekali dalam pencatatan kasus yang tersimpan dalam kartu-kartu mirip rekam medis saat pasien mengunjungi rumah sakit. Masing-masing siswa memiliki catatan kasus pribadi yang disimpan bersama rapotnya. Silakan download disini untukmelihat contohnya.
Setelah mendengarkan alasan dan mencatatnya dalam kartu pelanggaran kasus siswa, guru tetap berkewajiban memberikan nasehat kepada murid dan sanksi, karena pelanggaran tetaplah pelanggaran. Hanya saja dengan pengertian yang baik, murid akan dapat lebih menerimanya dan tidak menganggapnya sebagai kebencian guru padanya.

Tujuan Pemberian Poin

Kartu atau buku catatan pelanggaran siswa (CPS) bukanlah semacam ekspresi dendam kepada siswa sehingga guru perlu mengingat dan menyimpan kesalahannya untuk diungkit-ungkit di masa depan. CPS lebih merupakan pengingat komitmen siswa. Setiap siswa melakukan pelanggaran dan dicatat dalam CPS, yang terpenting bukan pencatatannya, tetapi kesadaran siswa terhadap pelanggaran tersebut. Saat ikut menandatanganinya, siswa menyadari bahwa dia telah berbuat salah dan akan menerima konsekuensi lebih berat jika mengulanginya.
Demikian pula bagi guru, CPS akan memberikan pertimbangan mengenai sanksi atau tindakan yang diperlukan untuk menangani siswa berdasarkan sanksi atau tindakan terdahulu. Bila guru tidak mencatat pelanggaran dalam CPS, bisa jadi setiap pelanggaran dikategorikan baru atau pertama. Sehingga tindakan guru hanyalah menasehati dan menasehati lagi. Bila untuk pengulangan kesalahan yang sama guru tidak memiliki cara yang lebih dibandingkan cara sebelumnya, maka siswa akan menganggap konsekuensinya sebatas itu saja. Ini dapat membuat siswa kehilangan kepercayaan terhadap aturan atau kehilangan rasa segan melanggar aturan.
Selain itu, bila guru mencatat pelanggaran dalam CPS, maka guru lain dapat mengikuti perkembangan siswa yang bersangkutan. Jadi peran bimbingan dan penyuluhan tidak hanya menumpuk di pundak guru BP melainkan dibagi kepada semua guru. Tidak masalah gurunya berganti-ganti, asalkan melihat kepada CPS maka siapapun dapat “membaca siswa” dan memberikan solusi yang penuh pertimbangan.

Kesimpulan

Demikianlah sebagian konsep pengendalian kedisiplinan yang sedang diterapkan di SMK Al-Furqan Jember. Semoga ini dapat bermanfaat bagi kita semua demi membentuk generasi Muslim yang bermanfaat bagi ummat Islam.

Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

Mohon saran dan kritiknya


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Seluruh kebaikan dari situs ini boleh disebarluaskan tanpa harus mengutip sumber aslinya, karena pahala hanya dari Allah | Dikelola oleh © SMK Al-Furqan Jember.