Ini adalah bagian terakhir dari 4 seri tulisan. Baca bagian sebelumnya di: [Bab awal] [Bab dua] [Bab tiga] Disarankan untuk mengikuti semua tulisan secara utuh agar memahami dengan utuh pula. Bagian terakhir ini hanyalah catatan dari pengalihbahasa yang dimuat ulang oleh Sekolah Islam Al-Furqann Jember. Link download ada di bagian paling bawah.
PENUTUP ALIH BAHASA
pipipriyayi.wordpress.com
(www.smkalfurqan.com) Alhamdulillah.
Setelah membaca penjelasan diatas tadi, insya Allah sudah kita pahami dimana
letak perselisihan berbagai pendapat dan ijtihad para ulama tentang shurah
(gambar, patung dsb), karena alasan-alasan dalam menentukan hukum bagi shurah
ini dipaparkan sejelas mungkin oleh Ustadz A. Hassan (alm). Harapan saya dengan
pemaparan ke lima golongan yang berselisih tersebut, kita bisa saling
menghargai, karena tentunya setiap golongan memiliki ulama masing-masing yang
memperdalam ilmunya, saya yang bukan siapa-siapa ini tidaklah patut menjatuhkan
dan berprasangka buruk terhadap ijtihad `alim ulama.
Berikutnya saya disini ingin berbagi permasalahan yang tentu
saja semakin bertambah seiring perkembangan jaman, karena pemaparan diatas
ditulis sekitar 50 tahun silam, tentu semakin kesini, jaman semakin berubah,
terkhusus lagi tentang permasalahan shurah yang kini menjadi makanan
sehari-hari, kita dapat menyaksikannya dimana-mana.
Mungkin saya hanya akan menawarkan soal dan keterangan saja,
jawabannya mari kita renungkan dan diskusikan bersama `alim ulama disekitar
kita.
1. Bukankah
kita diperintahkan untuk tholabul `ilmi? Mencari ilmu? Karena menggambar
(Seni Rupa dan Desain) pun adalah sebuah ilmu.
[Komentar
dari Gilig Pradhana: “Terdapat ilmu yang diharamkan Allah untuk mempelajarinya,
yakni ilmu sihir. Namun apakah seni lukis dan seni patung dapat dikelompokkan
dalam hal ini saya tidak berkapasitas untuk menetapkannya”]
2. Bila
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan (H.R Muslim)”. Mengapa
diharamkan (mempelajari, ed) sesuatu yang Allah cintai? Karena seni rupa
pun mempelajari dan mengajarkan keindahan.
[Komentar
dari Gilig Pradhana: “Ini selaras dengan seni musik. Jikalau logika ini
terjawab, maka semoga juga dapat menjawab problematika status hukum musik”]
3.
Lalu,
menanggapi pendapat golongan yang mengatakan gambar dan patung yang boleh itu
adalah yang tidak cukup sifatnya yang membuat ia tampak hidup sehingga di Hari
Kiamat nanti tidak akan dipaksa untuk ditiupkan ruh padanya. Nah, seandainya
kita membuat gambar atau patung manusia yang lengkap satu tubuh luarnya saja,
bukannya belum cukup sifatnya untuk hidup karena tidak ada organ dalamnya?
Bagaimana bisa hidup kalau tidak ada jantungnya? Bukankah lebih kuat pandangan
yang akan dipaksa ditiupkan ruh kepadanya adalah ketika si pembuat gambar atau
patung membuatnya karena dimaksudkan untuk disembah, dalam arti lain, yang
namanya disembah berarti merasa bahwa bikinannya itu hidup, kan? Maka dari itu,
di Hari Kiamat para pembuatnya akan dipaksa untuk menghidupkannya, kan? Nah,
mungkinkah akan dipaksa memasukkan ruh padahal tidak ada perasaan dan keyakinan
kalau yang dibuat itu bisa hidup?
4.
Memperkuat
persoalan golongan keempat, jika melihat hadits ke-6, 7 dan 16, dikatakan bahwa
yang akan mendapat siksa pedih di Hari Kiamat adalah pembuat shurah dan mereka
akan diminta untuk memberikan ruh pada setiap shurah. Lalu di hadits ke-17 ada
pengecualian, bahwa pohon dan benda mati itu tidak haram. Nah, sekarang jika
ada segolongan manusia yang menyembah benda mati seperti matahari, gunung,
termasuk sebatang pohon, lalu mereka menggambar tuhan-tuhan mereka, apakah
mereka juga akan diminta memasukan ruh kepada shurah tuhan-tuhan mereka yang
benda mati itu?
5.
Kemudian,
ketika hadits ke-17 ada pengecualian bahwa gambar “pohon dan benda mati” itu
tidak haram, tapi di hadits ke-5 berisi tantangan untuk membuat “sebiji gandum”
dan menghukum mereka sebagai orang zhalim? Bukankah kedua hadits tersebut
bertentangan? Yang satu membolehkan, tapi yang satu menghukum zhalim? Atau
mungkin hadits ke-5 memang tidak berbicara tentang shurah? Pertanyaan ini juga
diajukan pada Firman Allah:
“Katakanlah! Terangkanlah tentang apa yang kamu sembah
selain Allah; perlihatkan kepadaku apa yang telah mereka ciptakan dari bumi, …” (QS. Al-Ahqaf, 46:4)
6.
Kita
renungkan terjemahan ayat Al-Quran ini:
“Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia
dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan
keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai
telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah (Muhammad), Panggilah
(berhala-berhalamu) yang kamu anggap sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu
daya (untuk mencelakakan)ku, dan jangan kamu tunda lagi” (Q.S. Al-A`raf, 7:197).
Di sana jelas sekali Al-Quran
menggambarkan sesuatu yang dianggap oleh manusia hidup itu adalah berhala (shurah
yang disembah), kan?
7.
Ayat
lain yang senada dengan hadits ke-16:
“Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat),
sesembahan itu menjadi musuh mereka, dan mengingkari pemujaan-pemujaan yang
mereka lakukan kepadanya.” (QS.
Al-Ahqaf, 46:6).
8. Jika
kita melihat pada sejarah Nabi Sulaiman a.s., jin membuat patung sebagai
pekerjaan mereka, bukan sebagai sesembahan (lihat Q.S. Saba’, 34:13). Memanglah
kita manusia umat Nabi Muhammad s.a.w., bukan jin dan bukan umat Nabi Sulaiman
a.s. atau Daud a.s., tapi bukankah kisah tersebut dijelaskan dalam Al-Quran?
Sedangkan jika Al-Quran menceritakan kisah sejarah berarti kita mesti mengambil
ibrah (pelajaran) dan hikmah dari kisah tersebut?
9. Dan
jika menelusuri kembali sejarah, bahwa gambar adalah merupakan bahasa, kita
lihat manusia purbakala yang berkomunikasi dengan gambar di goa-goa, gunung dan
sekitarnya. Lalu bangsa Yunani, Mesir kuno dan sebagainya pun berkomunikasi
dengan gambar (relief) yang walaupun beberapa dibuat sebagai bentuk
penyembahan, namun sebagian yang lain dimaksudkan untuk menginformasikan kisah
dan sejarah. Dan sampai saat ini pun gambar masih dijadikan bahasa komunikasi
dan informasi (bahasa visual). Bukankah kita berdakwah pun selayaknya dengan
bahasa umat? Lalu bagaimana jika umat termasuk umat berbahasa rupa?
10.
Kalau
Aisyah yang bermain boneka (patung untuk permainan) itu dibenarkan, berarti
senasib kah jika gambar pun dijadikan mainan? Misalnya dijadikan kartu mainan,
puzzle dan sebagainya.
11.
Sama
juga kah nasibnya dengan gambar untuk bacaan dan pertunjukan/tontonan? Misalnya
buku bergambar, komik, animasi kartun dan sebagainya. Karena boneka yang
dimainkan pun juga bisa dijadikan pertunjukan/tontonan, misalnya boneka Si
Unyil, Si Cepot dan sebagainya.
12.
Sebenarnya
kalau kita ingin membicarakan hal yang menyerupai makhluk Allah, ada gambar dan
patung yang lebih cocok dikatakan hampir dan malahan berusaha menyerupai
makhluk Allah. Yaitu gambar dan patung pada pelajaran ilmu pengetahuan alam.
Misalnya gambar lengkap pembuluh jantung, patung manusia beserta organ
dalamnya. Dan kalau kita pikir lebih jauh lagi, sekarang ada yang namanya
robot, itu bukan hanya sekedar patung, tapi patung yang bisa “bergerak/hidup”.
Sepertinya hal-hal tersebut lebih mendekati permasalahan berusaha untuk
menyerupai makhuk Allah. Jika kita beralasan kalau hal-hal itu digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan memudahkan pekerjaan, berarti betulkah
pendapat golongan kelima, bahwa membuat gambar dan patung yang tidak untuk
disembah adalah tidak haram?
13. Ada
lagi nih, kalau tahu film kartun animasi “Toys Story”, “Cars” atau “Wall-E”.
Nah itu malahan benda mati yang hidup? Apakah yang seperti itu …
14. Satu
hal yang mungkin belum dijelaskan di atas, Ustadz A. Hassan/golongan kelima
mengkategorikan shurah atas dasar penyembahan/pujaan saja. Lalu bagaimana jika
dihadapkan dengan masalah karakter/sifatnya? Contoh kasus; antara gambar
pornografi dengan gambar anatomi tubuh manusia untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Sepertinya hal seperti ini tidak usah terlalu diperdalam lagi, karena tanpa
dijelaskan pun, bukankah fitrah hati kita sudah lebih dahulu menjawabnya? Walau
demikian, inilah tantangan dan persoalan bagi golongan kelima, mewaspadai
celah-celah setan yang dapat menjerumuskan kepada dosa, kebanyakan berasal dari
pernyataan “Ah cuma gini doang kok…”, “Ah ini kan seni…”, “Ah ini kan bukan
buat disembah…”dsb. Jika dibiarkan celah-celah tersebut, hasilnya adalah
kebebasan berekspresi atas nama seni “hawa nafsu” yang melampaui batas?
Hati-hatilah jika shurah yang dibuat ternyata bisa merusak moral dan membuka
pintu-pintu setan.
15.
Jika
telah membaca berbagai pandangan diatas, bukankah selayaknya kita menentukan
sikap atas masalah shurah ini? Agar segera meninggalkan perkara syubhat yang
menimbulkan keraguan serta meneguhkan hati untuk meyakini ijtihad yang kita
dapati pemahamannya?
Bila pembaca di sini merasa ada
kata-kata saya yang menyeleweng sehingga seolah mencari-cari alasan sebagai
pembenaran belaka, saya serahkan semuanya pada pemilik ilmu, Allah s.w.t. Saya
hanya berusaha tidak jumud pandangan terhadap masalah ini, saya mencoba
mengasosiasikan tema ini dengan ibrah dari sejarah masa lalu dan permasalahan
yang kita jumpai saat ini dan masa yang akan datang, di mana ilmu pengetahuan
semakin melaju pesat, dan shurah (gambar, patung dsb.) telah menjadi salah satu
poin penting untuk memajukan ilmu pengetahuan. Yang dengan perantaraan shurah
tersebut, ilmu-ilmu di bumi Allah ini dapat berinovasi sebagai tanda syukur.
Karena bagaimanapun juga, ada manusia yang diberi bakat dan kelebihan oleh
Allah dalam bidang seni rupa ini, bukankah semestinya mereka mensyukuri
anugerah kemampuan tersebut?
Tampilan file download dalam MS Word |
Walhamdulillahirabbil`aalamiin.
Download PDF nya di sini
1 comments:
Mendapat bantuan tambahan dari Bapak Mgs Armansyah:
سنن
أبي داوود ٣٥١٣: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ الرَّمْلِيُّ وَحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ
شَيْبَةَ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعَرٍ أَسْوَدَ
و قَالَ حُسَيْنٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا
Sunan
Abu Daud 3513: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Khalid bin
Yazid bin Abdullah bin Mauhab Ar Ramli dan Husain bin Ali keduanya
berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah dari Bapaknya
dari Mush'ab bin Syaibah dari Shafiyah binti Syaibah dari 'Aisyah
radliallahu 'anha ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
keluar dengan mengenakan kain wool bergambar dari bulu berwarna hitam."
Husain berkata, "Yahya bin Zakariya telah menceritakan kepada kami
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya