Ide Utopia
Dalam buku diktat pendidikan dan kewarganegaraan kelas 2
untuk SD dan MI yang ditulis oleh Warsito Adnan, di bab pertama dibahas
mengenai “Arti hidup rukun dan damai”. Ada beberapa pernyataan yang perlu lebih
dimanusiawikan, seperti kalimat “Mereka berdua selalu hidup rukun. Mereka tidak
pernah bertengkar.” Terdengar indah bukan? Terlalu indah malah. Kira-kira
dimanakah anak —atau bahkan anda sendiri— dapat menemui situasi seperti itu
dalam kehidupan nyata?
Tidak ada. Tidak seorang pun yang tidak pernah bertengkar. Bertengkar
itu adalah topik yang paling banyak dikeluhkan orang tua tentang anak-anaknya.
Di akhir wacana bab pertama tersebut ditutup dengan kisah “Keluarga pak Pratama
selalu hidup rukun dan damai. Tidak pernah ada keributan terdengar di sana.”
Mungkinkah tulisan dalam buku pelajaran tersebut sedang membahas kehidupan di
surga? Tentu bukan. Lalu?
Pendidikan seharusnya mendekatkan diri antara teori dengan
kenyataan. Sementara pendidikan kita terlalu teoristis, dan sulit sekali
diimplementasikan dalam kehidupan. Apakah karena pelajarannya terlalu rumit,
terburu-buru, atau utopis. Dalam subyek Pendidikan Kewarganegaraan, yang lebih
banyak kita lihat nanti adalah yang terakhir.
Jika anda mengajar di sekolah Islam, maka wacana tersebut
akan sangat realistis dengan merubahnya seperti ini:
“Mereka berdua selalu berusaha hidup rukun. Mereka tidak suka bertengkar. Terkadang memang pertengkaran tidak dapat dihindari. Namun mereka segera meminta maaf, dan saling memaafkan. Mereka teringat pesan Rosulullah…”
Sekulerisme dan Pluralisme
Dalam kesempatan lain di buku PKN yang berbeda saya
mendapati “bentuk-bentuk kerukunan hidup umat beragama” yang diselewengkan.
Yakni pada saat hari raya keluarga yang berbeda-beda agama saling mengunjungi
dan memberikan selamat. Ini jelas menggebyah uyah, memukul rata.
Seolah-olah hal yang demikian adalah baik menurut semua agama.
Pendidikan moral utamanya harus memperhatikan norma agama.
Dalam Islam penghormatan kepada ummat beragama lain tidak boleh ditunjukkan
dengan sikap pembenaran kepada agama selain Islam, melainkan sikap toleransi
terhadap penyelenggaraan kegiatan beribadah. Misalnya, ummat Islam tidak
dibenarkan menghancurkan atau merusak rumah ibadah ummat Nasrani, Buddha,
Hindu, atau agama apapun. Namun di sisi lain, ummat Islam juga dilarang ikut
serta atau sekedar mengucapkan “selamat” kepada perayaan-perayaan ibadah
mereka.
Batasan-batasan ini tidak boleh dilanggar dan harus
dimaklumi oleh setiap orang. Sehingga tidak boleh ada kesan pluralisme, yakni
secara doktriner memaksa kaum Muslimin untuk hidup rukun dan damai dengan cara
yang melanggar agama dan keyakinan Islam.
Lalu bagaimana mengemasnya dalam buku pelajaran? Ini
contohnya:
“Pak Sitorus sedang merayakan natal. Pak Sitorus mengundang semua teman-temannya. Namun Pak Sitorus tidak mengundang pak Abu Bakar, karena pak Abu Bakar seorang Muslim. Pak Sitorus memaklumi bahwa seorang Muslim tidak boleh merayakan natal. Pak Sitorus menghormati ajaran ummat Islam.”
Atau
“Pak Sitorus sedang merayakan natal. Pak Sitorus mengundang semua tetangga-tetangganya. Pak Abu Bakar datang ke rumahnya dan menyampaikan permohonan maaf. Orang Islam tidak boleh merayakan natal, kata pak Abu Bakar. Maka pak Abu Bakar dan tetangga-tetangga lain yang Muslim tidak dapat hadir. Pak Sitorus memaklumi hal tersebut. Mereka hidup saling menghormati.”
Nah, bagaimana? Anda punya redaksi yang lebih baik? Disini
saya tidak menampilkan bagaimana seharusnya ummat Kristiani saat Ummat Islam
merayakan Romadon dan Idul Fitri. Apakah mereka tidak boleh mengucapkan selamat
juga sebagaimana Muslim ataukah boleh. Saya tidak dalam kapasitas menyampaikan
pendapat itu. Namun yang jelas, para penulis buku harus lebih serius melakukan
penelitian agar materi-materi ajar sekolah tidak menyelewengkan ajaran agama
tertentu.
Tulisan ini dimuat oleh ustadz Gilig di blog pribadinya.
0 comments:
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya