UNAS menjadi tragedi bagi sebagian siswa dan membelokkan makna pendidikan |
“Jadi
menetapkan kelulusan dari nilai UN adalah salah paradigma,” Menurut Gilig
Pradhana, kepala SMK Al-Furqan. “Negeri kita ini banyak orang pandai, namun
krisis akhlak. Seharusnya kalau ada pelajaran yang dijadikan patokan kelulusan
itu adalah agama.” Ironisnya, demi mengejar kelulusan, justru banyak terjadi
kecurangan dalam menempuh UN. Yang lebih mengerikan pelaku kecurangan malahan pihak
sekolah yang “dipaksa” mengejar predikat lulus 100%.
Gilig
berpendapat UNAS tidak boleh disakralkan sehingga menjadi proyek bancakan pihak
tidak bertanggung jawab. “Kita bisa berkaca dari EBTANAS yang pada saat itu
sama sekali tidak membebani guru maupun sekolah, sehingga mereka benar-benar
belajar untuk menuntut ilmu, bukan nilai.”
Dalam konteks diatas, tidak sedikit yang problematika seputar UNAS, beberapa diantaranya ialah:
- Akhmad Sudrajat menilai UNAS adalah pemaksaan yang mengikis makna pendidikan.
- Ninok Eyi melihat sendiri kecurangan dan merasakan sakitnya sistem yang bobrok
- Fitra mencium bahwa penyelenggaraan UNAS adalah untuk keuntungan pihak tertentu
- SRIE memprihatinkan arogansi pemerintah, dalam hal ini menteri pendidikan yang mengabaikan tuntutan masyarakat
- Berbagai petisi menuntut pemerintah mengembalikan karakter UNAS (agar tidak menjadi alat penentu kelulusan)
- IGI (Ikatan Guru Indonesia) menolak Kurikulum 2013, bercermin dari amburadulnya persiapan kemdikbud, termasuk UNAS.
- Wijaya Kusumah juga menggugat UNAS.
- Gugatan terhadap UNAS yang dimenangkan rakyat Indonesia (Putusan Mahkamah Agung tentang Ujian Nasional)
- 75% Guru mengatakan UNAS tidak tepat atau sangat tidak tepat!
- Group Facebook menolak UNAS!
1 comments:
Paling-paling dipertahankan cuma buat tender yang masuk ke kantong pribadi. Unas kan sesuatu banget... kesannya jadi sangat prestisius. BIsa-bisa dijual macam TOEFL
Posting Komentar
Mohon saran dan kritiknya